Showing posts with label dongeng. Show all posts
Showing posts with label dongeng. Show all posts

Saturday, July 22, 2017

Legenda Batu Menangis

google.com/image

Syahdan hiduplah seorang janda miskin pada masa lampau, Mak Dasah namanya. Ia tinggal
di sebuah gubug reyot di pinggir hutan. Mata pencahariannya sehari-hari adalah bekerja di ladang sempit peninggalan mendiang suaminya. Sepulang dari berladang, Mak Dasah biasa mencari kayu bakar di hutan. Kayu-kayu bakar itu lantas dijualnya di perkampungan penduduk yang jauh letaknya dari tempat tinggalnya.
Mak Dasah mempunyai seorang anak gadis. Jelita namanya. Sesuai namanya, wajah Jelita amatlah cantik. Sayang, Jelita sangat pemalas. Hari-harinya dihabiskannya untuk berdandan dan bercermin. Ia sangat mengagumi kecantikan dirinya. Meski berulangu kali Mak Dasah mengingatkan agar dia merubah kelakuannya itu, namun Jelita
enggan menuruti nasihat ibunya. Ia tetap sangat malas, enggan membantu kerepotan ibunya.
Selain pemalas, Jelita juga sangat manja. Apapun yang dikehendakinya harus dituruti ibunya. Jika tidak dituruti, Jelita akan marah¬marah. Meski begitu buruk kelakuan anaknya, Mak Dasah tetap sayang dengan anak perempuannya itu. Meski sangat kerepotan, namun Mak Dasah akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi setiap permintaan Jelita. Namun, Jelita senantiasa meminta dan terus meminta, dia tidak peduli dengan keadaan ibunya.
Pada suatu hari Mak Dasah mengajak Jelita ke pasar. Jelita mau diajak ke pasar dengan mem¬berikan syarat, “Aku tidak mau berjalan bersama dengan Ibu. Ibu harus berjalan di belakangku.” Mak Dasah terpaksa menuruti permintaan
anak gadisnya itu.
Jelita berangkat ke pasar dengan mengenakan pakaian terbaru sekaligus terbaik yang dimilikinya. Ia juga berdandan secantik-cantiknya seperti jika ia hendak menghadiri sebuah pesta. Ia lantas berjalan di depan ibunya yang mengenakan pakaian lusuh. Ibu dan anak itu begitu jauh berbeda dalam penampilan hingga orang yang tidak mengenal mereka tentu tidak akan menyangka jika mereka sesungguhnya ibu dan anak.
Tersebutlah seorang pemuda yang bertanya pada Jelita, “Wahai gadis cantik, apakah wanita berbaju lusuh yang berjalan di belakangmu itu ibumu?”
Jelita sejenak memandang pemuda yang bertanya padanya Tampan wajah pemuda itu. Melihat ketampanan pemuda itu, Jelita tiba-tiba merasa sangat malu mengakui Mak Dasah selaku ibu kandungnya. “Bukan!” katanya. “Ia bukan ibuku, melainkan pembantuku.”
Betapa sedih dan sakit hati Mak Dasah ketika mendengar jawaban anak perempuannya. Dinasihatinya agar Jelita tidak berani lagi berkata seperti itu. “Jelita, anakku. Aku ini ibumu, orang yang melahirkanmu. Sungguh, sangat durhaka kelakuanmu jika engkau berani menganggapku sebagai pembantumu! Sadarlah engkau, wahai anakku.”
Namun, Jelita tak menganggap nasihat ibu¬nya. Ia bahkan kian menjadi-jadi. Kepada orang-orang yang bertanya padanya selama dalam perjalanan itu, Jelita senantiasa tegas menjawab jika perempuan tua yang berjalan di belakangnya itu adalah pembantunya.
Hati dan perasaan Mak Dasah sangat seperti teriris sembilu. Ketika ia tidak lagi dapat menahan kesakitan hatinya, berdoalah Mak Dasah, kepada Tuhan, “Ya Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak harnba ini! benar telah membatu hati anak hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba durhaka itu menjadi batu!”
Doa Mak Dasah dikabulkan.
Tak berapa lama kemudian kedua kaki Jelita berubah menjadi batu. Jelita sangat takut. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati kedua kaki berubah menjadi batu. la kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak, “Mak, ampuni aku! Ampuni aku! Ampuni kedurhakaan anakmu ini, Mak”
Namun, semuanya telah terlambat bagi Jelita. Mak Dasah hanya terdiam. Sama sekali Mak Dasah tidak berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan yang diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh Jelita berubah menjadi batu.
Batu jelmaan Jelita itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus menetes dari batu itu kemudian menyebutnya Batu Menangis

Legenda Pulau Nusa

google.com/image

Tersebutlah seorang lelaki bernama Nusa. Ia tinggal di pinggir Sungai Kahayan bersama istri dan adik iparnya. Nusa setiap hari menggarap sawah dan juga menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Suatu ketika terjadi musim kemarau yang terus berkepanjangan. Sungai dan mata air mengering. Aneka tanaman merenggas dan layu. Seperti halnya warga lainnya, Nusa merasakan kesulitan yang sangat dalam musim kemarau yang berkepanjangan itu. Tanaman di sawahnya layu dan mati, diapun kesulitan untuk mencari ikan di sungai yang surut airnya itu. Nusa pun berkehendak untuk pindah ke daerah lain yang masih mempunyai sumber air untuk mendapatkan kehidupan yang lebih balk. Setelah menyiapkan bekal secukupnya, Nusa mengajak istri dan adik iparnya untuk berangkat. Dengan menaiki sebuah perahu kecil, mereka menuju hilir Sungai Rungan.
Perjalanan mereka menuju hilir Sungai Rungan itu tidak dapat lancar mereka lakukan. Sebatang pohon besar yang tumbang menghalangi laju perahu mereka. Satu-satunya cara agar mereka dapat meneruskan perjalanan adalah memotong batang pohon besar itu. Nusa dan adik iparnya segera bekerja memotong batang pohon itu dengan kapak. Sangat besar batang pohon itu hingga Nusa dan adik iparnya harus bekerja keras selama berjam-jam. Akibatnya, Nusa merasa lapar yang sangat. Nusa berkehendak mencari makanan di hutan untuk menghemat bekal mereka yang tidak seberapa. Nusa lalu mengajak adik iparnya menuju hutan.
Nusa menemukan telur yang cukup besar. Sekitar dua kali ukuran telur angsa. Nusa tidak mengetahui telur apa yang ditemukannya itu. Ia kemudian merebus telur itu dan memakannya sendirian karena istri dan adik iparnya tidak mau memakannya. Istrinya bahkan menyarankan agar Nusa tidak memakan telur itu. Namun, Nusa tetap bersikeras untuk memakannya.
Di tengah malam, Nusa terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tubuhnya gatal luar biasa. Di sekujur tubuhnya juga terlihat bintik- bintik kemerah-merahan. Nusa telah menggaruk bagian-bagian tubuhnya, namun tidak juga mereda rasa gatal yang dirasakannya. Segera dibangunkannya istri dan adik iparnya untuk membantunya menggaruk. Namun demikian, Nusa tetap merasa gatal. Berbagai cara telah dilakukan, tetap juga rasa gatal yang dirasakan Nusa itu tidak juga berkurang. Adik ipar Nusa yang kebingungan lantas mencari bantuan ke perkampungan terdekat.
Keesokan paginya tubuh Nusa mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Bintik-bintik berwarna kemerah-merahan di sekujur tubuh Nusa telah berubah menjadi sisik-sisik. Tubuh Nusa dari bagian perut hingga kaki telah juga memanjang hingga menyerupai bentuk naga. Hanya bagian wajah hingga dadanya saja yang masih menyerupai manusia. Dalam keadaan seperti itu Nusa pun berujar pada istrinya, “Aku rasa, semua yang terjadi pada diriku ini bermula dari telur yang kumakan. Telur itu tentu telur naga. Sungguh, aku menyesal karena tidak mendengarkan nasihatmu. Namun, bagaimanapun halnya, penyesalanku tidak lagi berguna. Tuhan telah menakdirkan aku menjadi naga. Aku harus menerima takdirku ini”
Istri Nusa hanya bisa bersedih hati mendapati kejadian yang menimpa suaminya. Sementara warga yang dimintai tolong adik ipar Nusa akhirnya berdatangan. Mereka terheran-heran mendapati wujud Nusa tanpa bisa melakukan suatu tindakan apapun untuk menolong Nusa.
Di hadapan semuanya, Nusa berpesan, malam nanti akan turun hujan yang sangat lebat disertai angin badai yang dahsyat. Guntur dan petir akan sambar-menyambar: Air sungai Rungan akan meluap hingga membanjiri daerah-daerah di sekitar sungai Rungan itu. Nusa juga berpecan agar istrinya, adik iparnya, dan juga segenap warga mengungsi ke daerah yang aman. Nusa lantas meminta agar tubuhnya yang telah berubah menjadi naga dengan panjang lebih dari tiga kali pohon kelapa itu digulingkan ke sungai. Ia tidak tahan dengan terik panas sinar matahari. Naga jelmaan Nusa itu lantas berenang menuju muara Sungai Kahayan.
Pesan Nusa terbukti benar. Pada malam harinya keadaan di daerah itu persis seperti yang dipesankan Nusa. Hujan turun sangat deras, angin badai dahsyat menerjang, diiringi guntur dan petir yang sambung-menyambung. Permukaan Sungai Rungan terus meninggi dengan cepat. Banjir pun terjadi. Ketinggian air di daerah itu bahkan melebihi tingginya pepohonan. Istri Nusa, adik ipar Nusa, dan warga yang mendengarkan pesan Nusa dapat selamat setelah mengungsi di tempat yang aman.
Banjir besar di Sungai Rungan menyebabkan tubuh Nusa terbawa arus hingga akhirnya ia tiba di Sungai Kahayan. Sebelum menuju lautan luas, Nusa berkehendak berdiam di sebuah teluk yang dalam. Ia pun memangsa ikan-ikan yang berada di teluk itu. Ikan-ikan yang berdiam di muara Sungai Kahayan itu menjadi cemas dengan kehadiran Nusa. Dengan nafsu makannya yang luar biasa, para ikan khawatir, Nusa akan memangsa mereka semua. Para ikan lantas bertemu dan berunding untuk mencari cara agar terbebas dari malapetaka yang diakibatkan Nusa itu. Ikan saluang tampil dengan rencananya yang akhirnya disetujui oleh para ikan.
Ikan saluang lalu menghampiri Nusa untuk mewujudkan rencananya. Ia sebutkan kepada Nusa, bahwa di laut luas ada seekor naga besar yang hendak menantang Nusa. Katanya, “Tuan Naga, naga di laut itu ingin mengadu kesaktian dengan Tuan untuk membuktikan siapa naga terkuat.”
Nusa sangat geram mendengar laporan ikan saluang. “Seberapa besar naga di taut itu?” tanyanya.
“Sesungguhnya naga itu tidak sebesar Tuan Naga,” jawab ikan saluang. “Namun keberaniannya sungguh luar biasa tinggi. Ia sangat terusik dengan kehadiran Tuan Naga di muara Sungai Kahayan ini. Menurut kabar yang saya dengar, naga itu tengah menuju ke muara Sugai Kahayan ini untuk menyerang Tuan Naga!”
Bertambah-tambah kegeraman Nusa. Ingin segera didatanginya naga itu dan mengadu kekuatan dengannya. Namun, ikan saluang menyarankan agar Nusa menunggu saja di muara Sungai Kahayan itu. “Hendaklah Tuan Naga menyimpan tenaga untuk menghadapi naga besar itu di tempat ini. Jika Tuan Naga mencarinya di Laut luas, bisa jadi Tuan Naga akan ketelahan. Bukankah naga itu bisa
mengalahkan Tuan Naga jika Tuan Naga ketelahan?”
Nusa setuju dengan saran ikan saluang. Berhari-hari Nusa terus menunggu kedatangan naga besar dari taut dengan sikap waspada. Selama menunggu itu ia tidak berani tidur. Ia khawatir naga di laut itu akan menyerangnya ketika ia tengah tertidur. Karena telah berhari-hari tidak tidur, Nusa menjadi sangat mengantuk. Tertidurlah ia tak lama kemudian.
Ketika mengetahui Nusa tertidur, ikan saluang mendekati ekor Nusa. Berteriaklah ia sekeras¬kerasnya, “Bangun Tuan Naga! Musuhmu telah datang! Musuhmu telah datang!”
Nusa terperanjat mendengar teriakan ikan saluang. Cepat ia memutarkan kepalanya. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat air sungai bergolak-golak. Ia menyangka bergolaknya air sungai itu disebabkan kedatangan musuhnya yang akan menyerangnya. Padahal, bergolaknya air itu disebabkan oleh gerakan ekornya sendiri. Nusa langsung menyerang. Digigitnya ekornya sendiri yang disangkanya musuhnya itu hingga ekornya terputus!
Nusa menjerit kesakitan ketika ekornya putus. Ikan saluang segera memanggil ikan-ikan lainnya untuk menggigiti luka pada tubuh Nusa. Nusa yang tidak berdaya kian kesakitan akibat gigitan ikan-ikan itu. Kekuatan tubuhnya terus melemah dan ia pun akhirnya tewas setelah kehabisan darah. Seluruh ikan terus memangsa dagingnya hingga hanya tersisa tulang-belulang Nusa.
Tulang-belulang Nusa akhirnya tertimbun oleh lumpur dan tanah. Aneka pepohonan kemudian tumbuh di tempat itu hingga akhirnya terbentuk sebuah pulau. Warga menyebut pulau di muara Sungai Kahayan itu dengan nama Pulau Nusa.

Pelangi untuk Mia

Hari ini Mia sangat bersemangat. Dia telah menyelesaikan tugas melukis yang diberikan minggu lalu. 

Mia juga tidak sabar melihat hasil karya Anna. Anna adalah teman dekat dan juga saingan menggambar Mia di kelas enam.

“Anna! Lihat gambarmu donk!” Mia menghampiri Anna dengan bersemangat saat melihatnya masuk kelas.
Anna hanya tersenyum dan menjawab, “Nanti waktu pelajaran menggambar!”

Kesukaan Mia dan Anna yang sama membuat mereka semakin akrab. Sejak mengenal Anna, Mia semakin rajin berlatih agar dapat menyaingi kemampuan menggambar Anna.

Pada akhir semester, Pak Ferdi Guru Seni Melukis mengutus Mia dan Anna untuk mengikuti perlombaan menggambar se-Ibukota. Mereka sangat senang. Baru kali ini mereka mengikuti tingkat Ibukota.

Dengan bersemangat, mereka memikirkan apa yang akan mereka gambar nanti, sesuai dengan tema yang diberikan, yaitu “Harapanku”. Setiap hari mereka berlatih.

“Yah.. hujan! Mia bawa payung? Aku lupa,” seru Anna pada suatu hari. Anna dan Mia baru saja hendak pulang dari sekolah, saat hujan turun deras.

“Payung istimewa pasti selalu kubawa!” Mia mengeluarkan payung tembus pandang kesayangannya.

Tak lama setelah Mia mengantarkan Anna ke rumahnya, Mia kaget mendengar bunyi klakson mobil yang lewat dengan kencang dan terjatuh.

“Pelan-pelan donk kalau menyetir!” teriak Mia dengan kesal. Mia mengambil payungnya kembali, namun berteriak kesakitan saat merasakan sakit di tangan kanannya.

“Aduh! Sakit sekali! Pasti terkilir waktu jatuh tadi!” Mia segera memegang payung dengan tangan kirinya dan bergegas pulang.

Esok harinya, Mia tidak masuk sekolah. Setelah pulang sekolah, Anna langsung pergi ke rumah Mia. Anna mendapat kabar kalau tangan Mia terkilir dan membutuhkan waktu seminggu lebih untuk sembuh.

Saat melihat Anna masuk, Mia langsung menangis sedih.
“Anna, bagaimana ini. Padahal lomba dua hari lagi,” Mia berbisik di sela-sela tangisnya.

Anna juga ikut menangis. Padahal mereka sudah berjuang bersama untuk lomba nanti, tapi Mia tidak bisa ikut.
“Mia, lebih baik aku juga gak ikut lomba. Gak adil kalau cuma aku yang ikut,” kata Anna.

Tapi Mia langsung menjawab, "Jangan Anna, kamu harus tetap ikut! Kamu harus mewakili kita berdua untuk menang!” Sambil menghapus air matanya, Mia menyemangati Anna.

“Baiklah. Kita berdoa semoga menang ya! Dan semoga tangan Mia cepat sembuh,” jawab Anna, juga sambil menghapus air matanya.

Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Bersama dengan Pak Ferdi dan orang tuanya, Anna pergi ke tempat lomba, lengkap dengan peralatan menggambarnya.

Sekitar jam tiga sore, telepon rumah Mia berdering dan Mia segera mengangkatnya.

“Halo Anna? Bagaimana hasilnya?” Tanya Mia di telepon.
Suara Anna diseberang sana menjawab, “Mia! Ayo tebak!”

Mia dengan tidak sabar segera menyahut, “Anna pasti menang!”
Anna hanya tertawa dan menjawab, “Kita berdua menang Mia! Kan kamu yang bilang, aku mewakili kamu juga?”

Mia mengangguk sambil tersenyum senang, lupa kalau Anna tidak bisa melihatnya.

Artikel perlombaan menggambar tersebut dipasang di majalah dinding sekolah. Saat melihatnya, Mia menyadari sesuatu dan segera menarik Anna ke tempat artikel itu dipasang.

“Anna, kok gambarmu beda dengan yang sudah kita latih? Bukannya kamu seharusnya menggambar liburan di pantai?” Mia menunjuk foto pada artikel tersebut.

“Gambar ini tetap sesuai dengan tema kok!” Jawab Anna tersenyum riang.
“Tapi apa hubungannya pelangi dengan tema Harapanku?” Mia berkerut bingung.

“Harapanku saat itu, semoga hujan di hati Mia bisa segera digantikan oleh pelangi,” Anna menjelaskan dengan malu-malu.

Mia sangat terharu dan segera memeluk Anna, “Anna, kamu sahabat Mia yang terbaik! Setiap hujan, aku akan teringat gambar pelangi Anna!”

Anna menepuk-nepuk pundak Mia dengan gembira. Bersama-sama mereka kembali ke ruang kelas. Saat ini, hujan yang turun di hati Mia telah hilang dan digantikan dengan pelangi yang sangat indah. Pelangi harapan yang membuat Mia akan terus berjuang mencapai cita-cita.

Buaya dan Burung Penyanyi

Suatu hari ada seekor buaya dan burung penyanyi. Mereka hidup dihutan dan bersahabat sangat akrab.
Suatu ketika burung penyanyi bernyanyi dihadapan buaya dengan bertengger di hidungnya. Karena sangat asiknya mereka bernyanyi dan mendengarkan suara merdu.
Tak lama kemudian buaya menguap dan membuka mulutnya lebar lebar. Burung penyanyi yang sedang bertengger di hidung buaya terpleset masuk ke dalam mulut buaya.
Lalu buaya heran "kemana burung penyanyi?". Buaya mencari burung penyanyi di semak semak tetapi tetap tidak ada.
Lalu saat buaya sedang mencari burung penyanyi, senandung merdu keluar dari mulut buaya. kata buaya "indah sekali suaraku " gumam buaya.
Lalu buaya menguap dan membuka mulut lebar lebar. Hampir saja buaya menutup mata ada seekor burung penyanyi yang sedang bertengger di hidungnya.
Kata burung penyanyi dengan marah " kau sangat tidak punya hati buaya , kau biarkan aku masuk ke mulutmu. sampai aku bernyanyi, tapi kau tidak tahu aku ada di dalam mulutmu?". Kata buaya "aku sama sekali tidak tahu kalau kau masuk ke mulutku , jadi suara yang indah itu bukan suaraku....?" .
Burung penyanyi berkata "iya , itu suaraku bukan suaramu , kau kan tidak bisa bernyanyi sepertiku suaramu itu tidak enak didengar".
Buaya menangis setelah mendengar ucapan burung penyanyi. Lalu burung penyanyi merasa iba karena apa yang dikatakannya menyinggung perasaan buaya .
Lalu burung penyanyi mencari cara untuk menghibur buaya. Burung penyanyi berkata " tenang buaya , kita akan menyanyi bersama". Kata buaya" bagaimana caranya aku kan tidak bisa bernyanyi sepertimu?".Kata burung penyanyi " mudah saja buatlah gelembung gelembung air lalu aku bernyanyi " .
Setelah itu buaya memasukkan mulutnya ke dalam air dan membuat gelembung gelembung air sedangkan burung penyanyi bertugas untuk bernyanyi.
Suara itu sangat pas dan sangat enak di dengar . dan buaya melakukan seperti itu setiap hari dan mereka menjadi sahabat yang setia.

Legenda Alue Naga


Suatu hari Sultan Meurah mendapat khabar tentang keresahan rakyatnya di suatu tempat, lalu beliau mengunjungi tempat tersebut yaitu sebuah desa di pinggiran Kuta Raja untuk mengetahui lebih lanjut keluhan rakyatnya.
"Tuanku banyak ternak kami raib saat berada di bukit Lamyong," keluh seorang peternak. "Terkadang bukit itu menyebabkan gempa bumi sehingga sering terjadi longsor dan membahayakan orang yang kebetulan lewat dibawahnya," tambah yang lainnya. "Sejak kapan kejadian itu?" Tanya Sultan Meurah. "Sudah lama Tuanku, menjelang Ayahanda Tuanku mangkat," jelas yang lain.
Sesampai di istana Sultan memanggil sahabatnya Renggali, adik dari Raja Linge Mude. "Dari dulu aku heran dengan bukit di Lamnyong itu," kata Sultan Meurah. "Mengapa ada bukit memanjang disana padahal disekitarnya rawa-rawa yang selalu berair," sambung Sultan Meurah. "Menurut cerita orang tua, bukit itu tiba-tiba muncul pada suatu malam," jelas Renggali, "abang hamba, Raja Linge Mude, curiga akan bukit itu saat pertama sekali ke Kuta Raja, seolah-olah bukit itu mamanggilnya," tambahnya. "Cobalah engkau cari tahu ada apa sebenarnya dengan bukit itu!" Perintah Sultan.
Maka berangkatlah Renggali menuju bukit itu, dia menelusuri setiap jengkal dan sisi bukit tersebut, mulai dari pinggir laut di utara sampai ke kesisi selatan, "bukit yang aneh, "bisik Renggali dalam hati. Kemudian dia mendaki bagian yg lebih tinggi dan berdiri di atasnya, tiba-tiba dari bagian di bawah kakinya mengalir air yang hangat. Renggali kaget dan melompat kebawah sambil berguling. "Maafkan hamba putra Raja Linge!" Tiba-tiba bukit yang tadi di pinjaknya  bersuara. Renggali kaget dan segera bersiap-siap, "siapa engkau?" Teriaknya. Air yg mengalir semakin banyak dari bukit itu membasahi kakinya, "hamba naga sahabat ayahmu," terdengar jawaban dari bukit itu dikuti suara gemuruh.


Renggali sangat kaget dan di perhatikan dengan seksama bukit itu yang berbentuk kepala ular raksasa walaupun di penuhi semak belukar dan pepohonan. "Engkaukah itu? Lalu di mana ayahku? Tanya Renggali. Air yang mengalir semakin banyak dan menggenangi kaki Renggali. "Panggilah Sultan Alam, hamba akan buat pengakuan!" Isak bukit tersebut. Maka buru-buru Renggali pergi dari tempat aneh tersebut. Sampai di istana hari sudah gelap, Renggali menceritakan kejadian aneh tersebut kepada Sultan.
"Itukah Naga Hijau yang menghilang bersama ayahmu?" Tanya Sultan Meurah penasaran. "Mengapa dia ingin menemui ayahku, apakah dia belum tahu Sultan sudah mangkat?"  tambah Sultan Meurah. Maka berangkatlah mereka berdua ke bukit itu, sesampai disana tiba-tiba bukit itu bergemuruh. "Mengapa Sultan Alam tidak datang?" Suara dari bukit. "Beliau sudah lama mangkat, sudah lama sekali, mengapa keadaanmu seperti ini Naga Hijau? Kami mengira engkau telah kembali ke negeri mu, lalu dimana Raja Linge?" Tanya Sultan Meurah. Bukit itu begemuruh keras sehingga membuat ketakutan orang-orang tinggal dekat bukit itu.
"Hukumlah hamba Sultan Meurah," pinta bukit itu. "Hamba sudah berkhianat, hamba pantas  dihukum," lanjutnya. "Hamba sudah mencuri dan menghabiskan kerbau putih hadiah dari Tuan Tapa untuk Sultan Alam yang diamanahkan kepada kami dan hamba sudah membunuh Raja Linge," jelasnya. Tubuh Renggali bergetar mendengar penjelasan Naga Hijau, "bagaimana bisa kamu membunuh sahabatmu sendiri?" Tanya Renggali.
"Awalnya hamba diperintah oleh Sultan Alam untuk mengantar hadiah berupa pedang kepada sahabat-sahabatnya, semua sudah sampai hingga tinggal 2 bilah pedang untuk Raja Linge dan Tuan Tapa, maka hamba mengunjungi Raja Linge terlebih dahulu, beliau juga berniat ke tempat Tuan Tapa untuk mengambil obat istrinya, sesampai di sana Tuan Tapa menitipkan 6 ekor kerbau putih untuk Sultan Alam, kerbaunya besar dan gemuk.
Karena ada amanah dari Tuan Tapa maka Raja Linge memutuskan ikut mengantarkan ke Kuta Raja, karena itu kami kembali ke Linge untuk mengantar obat istrinya. Namun di sepanjang jalan hamba tergiur ingin menyantap daging kerbau putih tersebut maka hamba mencuri 2  ekor kerbau tersebut dan hamba menyantapnya, Raja Linge panik dan mencari pencurinya lalu hamba memfitnah Kule si raja harimau sebagai pencurinya, lalu Raja Linge membunuhnya.
Dalam perjalanan dari Linge ke Kuta Raja kami beristirahat di tepi sungai Peusangan dan terbit lagi selera hamba untuk melahap kerbau yang lezat itu, lalu hamba mencuri 2 ekor lagi, Raja Linge marah besar lalu hamba memfitnah Buya si raja buaya sebagai pencurinya maka dibunuhlah buaya itu. Saat akan masuk Kuta Raja, Raja Linge membersihkan diri dan bersalin pakaian ditepi sungai, lalu hamba mencuri 2 ekor kerbau dan menyantapnya tetapi kali ini Raja Linge mengetahuinya lalu kami bertengkar dan berkelahi, Raja Linge memiliki kesempatan membunuh hamba tetapi dia tidak melakukannya sehingga hamba lah yang membunuhnya," cerita naga sambil berurai air mata.
"Maafkanlah hamba, hukumlah hamba!" terdengar isak tangis sang naga. Mengapa engkau terjebak disini?" Tanya Sultan Meurah. "Raja Linge menusukkan pedangnya ke  bagian tubuh hamba sehingga lumpuhlah tubuh hamba kemudian terjatuh dan menindihnya, sebuah pukulan Raja Linge ke tanah membuat tanah terbelah dan hamba tertimbun di sini bersamanya," jelas sang naga.
"Hamba menerima keadaan ini, biarlah hamba mati dan terkubur bersama sahabat hamba," pinta Naga Hijau. "Berilah dia hukuman Renggali, engkau dan abangmu lebih berhak menghukumnya," kata Sultan Meurah. "Ayah hamba tidak ingin membunuhnya, apalagi hamba, hamba akan membebaskannya," jawab Renggali. "Tidak! Hamba ingin di hukum sesuai dengan  perbuatan hamba," pinta Naga Hijau. "Kalau begitu bebaskanlah dia!" Perintah Sultan Meurah.
Maka berjalanlah mereka berdua mengelilingi tubuh naga untuk mencari pedang milik Raja Linge, setelah menemukannya, Renggali menarik dengan kuat dan terlepaslah pedang tersebut namun Naga Hijau tetap tidak mau bergerak. "Hukumlah hamba Sultan Meurah!" Pinta Naga Hijau. "Sudah cukup hukuman yang kamu terima dari Raja Linge, putranya sudah membebaskanmu, pergilah ke negerimu!" Perintah Sultan Meurah.
Sambil menangis naga tersebut menggeser tubuhnya dan perlahan menuju laut. Maka terbentuklah sebuah alur atau sungai kecil akibat pergerakan naga tersebut. Maka di kemudian hari daerah di pinggiran Kuta Raja itu disebut Alue Naga, disana terdapat sebuah sungai kecil yang disekitarnya di penuhi rawa-rawa yang selalu tergenang dari air mata penyesalan seekor naga yang telah mengkhianati sahabatnya.

peterpan

In an area called Edwardian in London lived Wendy Darling with her two younger brothers. Their parent Left them in a house care belonging to the lady Nana. On a night when Mrs. Nana was away, Wendy Darling awakened by a strange sound. Then she ran toward the sound. She saw a boy named Peter Pan. Wendy was surprised and asked him, “What are you doing here?” “I’m looking for my shadow” Peter replied. Finally Wendy helped peter to look for his shadow. After finding the shadow, Wendy was sewing Peter’s shadow to stick on as before. Finally Peter Pan got its shadow back. He thanked to Wendy and promised to visit her again.
After a few days, Peter Pan returned to visit Wendy. He was accompanied by a jealous little fairy named Tinker Bell. Wendy was very happy; she introduced them both to her younger brother. Peter Pan told them all about Neverland, a world full of wonders. He also would like to invite them to go and stay at Neverland. Wendy and her brother were happy about that invitation. They also agreed to go.
“Before you go you have to learn to fly first” asked Peter Pan. Wendy Darling and her brother were confused because they did not know how to fly. Then Tinker bell was helping them. She sprinkled magic dust toward Wendy and her brother. Finally, the three of them can fly. With the help of Peter pan, they came out of the window of the house to Neverland.
Wendy and her brothers stayed for a few weeks at Neverland. They lived with a bunch of missing children. They were children who were lost and never found again. There Wendy and her brothers played happily with them. The Lost Children asked Wendy to be their mother. Wendy could not refuse the request. Afterward, she became their caregivers. Wendy always tells a story to them before going to bed.
An evil pirate named captain hook looking for the presence of Peter Pan and the lost children. Captain hook is their enemy in Neverland. He was revenge against Peter Pan because he already cut his hand and gave it to crocodiles. The crocodile ate that hand and a clock belonging to captain hook. The clock kept ringing in the belly of the crocodile. That crocodile continued to follow him hook it continues wherever he went. For months, captain hooks looked for their hiding place. After a long time, he finally discovered the hiding place. Then he began to make plans to catch them.
After so long cared by Wendy Darling, the lost children began to feel nostalgic with a real family. Wendy also invited them all to stay with her in real world. They were very happy and wanted to go with Wendy. Eventually they all asked Peter Pan to let them go into the real world. At first Peter Pan refused, but after they forced he allowed them. He asked Tinker Bell to make way to real world. Wendy also invited Peter Pan to go, “Come with us!” “No I will not ever go out of this world and become adult” said Peter Pan. He was going to leave them.
When Wendy and the lost children were about to go to the real world, captain hook was coming. He kidnapped them to his ship. Tinker Bell who survived told Peter Pan, “Peter, Wendy and the others have been kidnapped by Captain Hook!” Tinker Bell said. Peter Pan was shocked, “I have to save them!” said Peter Pan.
Peter Pan flew very quickly into a pirate ship to save them. Above the ships, Peter Pan saw they were tied. With its intelligence, Peter Pan made a sound like a clock rang. The sound made the whole crew frightened. They thought that it was crocodile who wanted to attack them anymore. One by one, the crew went to jump into the water. Then Peter pan jumped on board to attack remain crew. Finally Peter Pan managed to release Wendy and the lost children. Realizing he had been duped, captain hooks out and attacked Peter Pan. Then fierce battle happened between them. They were clashing their swords on board. Peter Pan pushed captain hook fell into the sea and then captain hook eaten by a crocodile that was waiting for him in the sea. Finally they all survived from captain hook.
The missing children changed their minds. They wanted to stay in Neverland with Peter Pan and Tinker Bell. Then Peter Pan was escorted Wendy and her brothers returned to the real world. Once safely home, Wendy asked Peter Pan to stay with them. But Peter Pan still rejected it. He promised to visit Wendy again someday.